Pendekatan STM Dalam Mata pelajaran IPS
Pendekatan STM Dalam Mata pelajaran IPS
Secara filosofis konsep pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) Dalam belajar-mengajar menganut pandangan konstruktivisme dan pragmatisme, yang pada pokoknya menggambarkan bahwa si pelajar membentuk atau membangun pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan.
Pendekatan STM
Pendekatan STM adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi
Berdasarkan pengertian STM sebagaimana diungkapkan di bagian sebelumnya, maka dapat diungkapkan bahwa yang menjadi tujuan pendekatan STM ini secara umum adalah agar para peserta didik mempunyai bekal pengetahuan yang cukup sehingga ia mampu mengambil keputusan penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat dan sekaligus dapat mengambil tindakan sehubungan dengan keputusan yang diambilnya.
Pendekatan STM dikembangkan dengan tujuan agar :
1)Peserta didik mampu menghubungkan realitas sosial dengan topik pembelajaran di dalam kelas.
2)Peserta didik mampu menggunakan berbagai jalan/ perspekti untuk mensikapi berbagai isu/ situasi yang berkembang di masyarakat berdasarkan pandangan ilmiah
3) Peserta didik mampu menjadikan dirinya sebagai warga masyarakat yang memiliki tanggungjwab sosial.
c. Penerapan Pendekatan STM
Pendekatan STM, sesuai dengan pengertian dan tujuan yang diungkapkan sebelumnya, dalam penerapannya di dalam kelas sesungguhnya tidak membutuhkan konsep ataupun proses yang terlalu unik. Sebagaimana menurut pandangan National Science Teachers Association (1990:1), there are no concepts and/or processes uniqe to STS. Hanya saja, ada beberapa prinsip yang harus dimunculkan dalam pendekatan STM menurut National Science Teachers Association (1990:2) yaitu sebagai berikut:
1) Peserta didik melakukan identifikasi terhadap persoalan dan dampak yang ditimbulkan dari persoalan tersebut yang muncul di sekitar lingkungannya
2) Menggunakan sumberdaya lokal untuk mencari informasi yang dapat digunakan dalam penyelesaian persoalan yang telah berhasil diidentifikasi
3) Menfokuskan pembelajaran pada akibat yang ditimbulkan oleh sains dan teknologi bagi peserta didik
4) Pandangan bahwa pemahaman terhadap konten sains lebih berharga daripada sekedar mampu mengerjakan soal
5) Adanya penekanan kepada keterampilan proses yang dapat digunakan peserta didik untuk menyelesaikan persoalannya sendiri
6) Adanya penekanan pada kesadaran berkarir, terutama karir yang berhubungan dengan sains dan teknologi
7) Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh pengalaman tentang aturan hidup bermasyarakat yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang telah diidentifikasi.
a. Aliran Kontruktivisme
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
1. Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview.
2. Penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
3. Orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas.
4. Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
5. Resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. (c) membangun ulang kerangka konseptual.
6. Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah.
7. Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.
Referensi:
Pudjiadi, Anna. 2007. Sains Teknologi Masyarakat, Metode Pembelajaran Kontekstual Bermuatan Nilai, Remaja Rosdakarya. Bandung.
Rumansyah Dan Yudha Irhasyuarna. 2003. Prospek Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) Dalam Pembelajaran Kimia Di Kalimantan Selatan.
http://zalva-kapeta.blogspot.com/2009/02/gaya-belajar.html . (Maret,2010)
Komentar
Posting Komentar